Oleh: Arie Muhyiddin, S.H., M.H. sebagai Ketua GP Al-Washliyah Kota Palembang
beritaseindonesia.id – Artikel : Tepat pada tanggal 11 Juli 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui RUU Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang di mana sejak awal sudah menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya tenaga kesehatan (nakes).
Sebagian besar masyarakat menilai bahwa pengesahan RUU Kesehatan terlalu terburu-buru, mengingat bahwa RUU tersebut baru dibahas pada tahun sebelumnya oleh DPR RI. Bahkan, sebagian menilai pengesahan RUU Kesehatan sama cepatnya dengan UU Cipta Kerja.
Sejak awal RUU Kesehatan tersebut mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia dan sebagian masyarakat umum.
Mereka menolak beberapa pasal seperti mandatory spending atau alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen, kemudahan izin dokter asing, pembatasan jumlah organisasi profesi, pelemahan terhadap organisasi profesi dan kekhawatiran munculnya diskriminasi dokter akibat kelalaian karena tidak terdapat penjelasan yang rinci.
Masyarakat patut curiga karen pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang sangat cepat dan terkesan kurang transparan dan mengabaikan aspirsi masyarakat sipil. Padahal kalau mau jujur, hingga saat ini sistem kesehatan kita masih menghadapi beragam persoalan, seperti minimnya jumlah dokter spesialis yang selama ini hanya berada di kota-kota besar dan akses pelayanan kesehatan masyarakat yang masih bermasalah sehingga warga harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk sampai ke lokasi.
Persoalan lain adalah minimnya dokter di puskemas. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan sebanyak 53 persen atau 5.498 dari 10.373 puskesmas belum memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar. Idelanya, dalam satu puskesmas harus memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter umum, dokter gigi, bidan, dan perawat (Repubika, 30/4/2022).
Karena itu, kalau RUU Kesehatan memang bertujuan untuk memperbaiki sistem kesehatan semestinya dibahas dengan penuh kehati-hatian dan tidak terburu-buru. Pembahasannya pun perlu melibatkan partisipasi publik sehingga nantinya benar-benar menjawab berbagai persoalan yang terjadi di lapangan.
Menyikapi persoalan tersebut, maka wajar jika masyarakat menyampaikan kekecewaannya kepada pihak pemerintah dan DPR karena tidak melibatkan masyarakat dalam pembahasan RUU Kesehatan serta mendesak Presiden untuk membatalkan RUU Kesehatan yang baru disahkan DPR.
Dalam pandangan penulis, ada beberapa point yang mesti menjadi perhatian dalam undang-undang kesehatan yang baru. STR berlaku seumur hidup dan rekomendasi organisasi profesi untuk memperoleh SIP. Salah satu isi RUU Kesehatan 2023 adalah dominasi organisasi profesi kesehatan. Pemerintah berpendapat bahwa beberapa masalah dapat diselesaikan melalui RUU Kesehatan, termasuk pembentukan dokter spesialis.
Menurut pemerintah, dominasi organisasi kesehatan menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena biaya pengurusan izin praktik yang tinggi. Namun, rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar.
Selain itu, UU Kesehatan juga mengubah persyaratan bagi dokter untuk mendapatkan SIP. Menurut Undang-Undang Kesehatan, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi untuk mendapatkan SIP.
Namun, organisasi profesi seperti IDI berpendapat bahwa aturan ini mencabut peran organisasi profesi dalam menentukan persyaratan praktik tenaga kesehatan. Surat rekomendasi dari organisasi profesi dapat menunjukkan bahwa calon tenaga kesehatan memiliki etika dan moral yang baik.
Point berikutnya adalah alokasi anggaran kesehatan. DPR RI dan pemerintah telah sepakat untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan minimal dari 5 persen menjadi 10 persen. Pemerintah berpendapat bahwa peningkatan alokasi tersebut akan memastikan pengeluaran yang terencana dan berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program kesehatan strategis dapat berjalan secara maksimal. Namun, langkah ini tidak sesuai dengan Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.
Mudah mudahan pro dan kontra ini bisa mengakhiri kegaduhan dan tidak menyunat kewenangan organisasi profesi, mengingat Undang-Undang Kesehatan ini untuk kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk kepentingan organisasi tertentu saja.